hari ini adalah hari
pernikahanku bersama kahar Laksmi Lazuardi. Puteri termuda yang kaya raya
tinggal di tengah sungai gerong . dia adalah puteri semata wayang datuk kharil
Agung Perdana. Siapa yang tidak kenal beliau bersama keluarga besarnya, mereka
adalah keluarga yang ber-muka. Terpadang dan semua orang segan padanya. Untuk
memahami sebuah nama, datuk kharil sangat tahu asal usul seseorang berdasarkan
kasta. Sebenarnya aku tidak akan membicarakan masalah kasta, pasti akan terjadi
pro kontra dan aku yang akan kena imbasnya.
Bali
merupakan kota yang memiliki banyak tradisi dan budaya. Dalam pandangan mataku,
nama juga merupakan sebuah tradisi yang memiliki banyak arti. Bukan hanya sebatas
doa, tapi sebuah nama juga menjadi tolak ukur tinggi rendahnya seseorang dimata
masyarakat.
Matahari telah keluar dari porosnya.
Menampakan dirinya yang mencolok keindahan. Tapi lain kali itu, langit membias,
matahari berlari seakan terkutuk tidak akan menghangati bumi lagi. Seketika
datang pun berusaha membakar perlahan
kebahagiaan kedua insan yang tengah berbahagia itu. Begitu akad nikah dimulai,
penghulu berusaha meyakinkan bahwa pernikahannya telah syah. Syah? Syah? Tak
ada juga serentas suara yang menjawab. Kahar mengalihkan pandangan menatap bapaknya.
Mencari sesuatu dan seakan meminta kepastian apakah pernikahannya tetap
berlangsung, ataukah harus berakhir hari ini..
“ tidak syah.. “ suara yang nyaris
lembut itu menggetarkan tak percaya. Laksmi? Orang-orang menatapnya heran,
termasuk yadunandana. Dia benar-benar kecewa, entah apa alasannya laksmi dengan
serentak mebatalkan cincin yang tengah masuki jari manisnya yadunandana? yang
pasti suasana itu benar-benar meninggalkan jejak kepedihan yang teramat besar.
Bukan hanya luka, tapi rasa malu yang terpampang di wajahnya. Tanpa basa-basi ,
wanita yang terlihat polos itu mendesah pergi. Begitu juga dengan ribuan tamu
terhormat itu meningalkan ruangan dengan penuh rasa kekecewaan. Entah kecewa
karena merasa kedatangannya begitu cepat, atau kecewa dengan pentas luka yang
tengah di saksikannya. Yadunandana tetap duduk termangu tidak mengerti.
Dihadapannya yang tengah berdiri pula datuk kharil senyum seringai penuh sandiwara.
“ berdiri kau, lelaki miskin. ! “ yadunandana menatapya denagan mata yang nanar
penuh kekecewaan. Dia benar-benar tidak percaya, selama 12 tahun telah mengenal
datuk kharil yang selalu menampakan perangai yang baik itu, nyatanya hanya
sekedar basa-basi layakanya tuan rumah
yang berperilaku kasar kepada
pembantunya. Yadunandana adlah pekerja yang menghabiskan sisa usia mudanya. Ia
sudah memikul pekerjaan dari yang seharusnya ia kerjakan. Ia masih layak
menuntut ilmu, dimulai usia 6 tahun tidak layak apalagi hanya sebatas pekeja
serabutan. Saat itu juga ia benar-benar di usir datuk kharil dari istana
keagungannya. Dia pergi, membawa tangan hampa dan kekosongan relung jiwa.
***
3 tahun, adalah waktu yang cukup
lama yadunandana tidak menampakan batang hidungnya dari keramaian dunia. Lelaki
yang baru mengenal luka, perih karena kecewa yang drastic menimpa dirinya ,
kali ini dia tidak berpikir dari sisi yang tetap berprasangka bahwa Tuhan itu
benar-benar adil. Dia masih terlihat sama walau sekedar numpang
hidup di dalam tumpukan kayu yang membatu. Lelaki yang memikul masa lalunya
teramat buruk. ia menuliskan dendam, bukan karena luka tapi kekecewaannya yang
belum dituntaskan. Dia sama sekali tidak memiliki rasa malu walaupun berusaha
numpang tinggal di rumah seorang wanita yang pernah dilukainya. Sehari-hari
kerjaannya hanya menopang dagu melihat sosok wanita paruh baya itu bercengkrama
dengan hutan, menjadi tukang serabutan.
“ nak, usiamu tengah cukup tua,
kapan kau akan meminang seorang gadis, amak khawatir dengan kesendrianmu yang
terus begini..” ibunya terus meyakinkan. Dan membujuk anak tertua di
keluarganya agar segera menikah.
“ sudah lah mak, aku tak nak
menikah. Bagaimana kau akan menjalankan mahligai keluarga dengan sejahtera,
kalau aku terus menerus ketiban luka . dan berkali-kali pernikahan yang ku
alami selalu tidak terjadi. “
Ini
kisahku, perjalanan dari masa lalu beda ketika aku menyatakan cinta semasa SMA
. semua wanita nyaris memburu ku. Ah entahlah hari ini apa mungkin hanya karena
nama ? namaku yang mencerminkan orang rendah? Aku emang miskin, menerjangi
perjalanan hidup dengan ketidak pastian. Memiliki raut muka yang tidak
meyakinkan. Kau tahu amak, karena itu semua orang merendahkanku. “kau tahu
yanunandana, nama adalah warisan dari amak yang melahirkanmu . selain memiliki
arti yang tersirat sebuah nama merupakan doa.sedangkan wajahmu? Wajahmu adalah warisan dari nenek moyang yang tidak
ada duanya kamu bukan orang lain ataupun mereka . Tuhan menciptakan kamu dengan satu wajah dan manusia menciptakan
yang lain.
Hiruk piruk angin desa itu membawa
serpihan debu keatas arai tua. Kalau siang hari amaknya yang setia membersihkan
papande sedangkan kalau malam sudah menjadi bagian tugas yanunandana. Debu
menjadi cermin seseorang yang menginjak rumahnya untuk menyesali perbuatannya.
Menuju orang yang dituju, meminta maaf. Lelaki muda masih hidup dengan ambang
mistery. Lelaki berparas luka yang nyaris membatu di relung jiwanya kerap kali
ia mengepalkan kedua tangan sebagai alas dendam. Bagaimanapun juga amaknya
sudah memperingati jangan sekali-kali lelaki sejati menyimpan dendam atas
desahan luka. Karena itu amak percaya bahwa hidup bukan sekedar untuk dijalani
juga dipelajari. Berani menerima dan berani mengikhlaskan.
Tibalah malam itu menjelma dengan puncak agungnya.
Gejolak malam. Langit terlihat kilat raksasa yang perlahan akan memukul tiang
listrik lantas dunia mati, hancur akar kehidupan lainnya. Di dekat rumah agung
itu dia perlahan menyusup pagar. Mencabik sesal pada niat awal untuk membunuh
datuk kharil agung perdana. Saya nak terima sesal hujung nyawa itu, dia harus
mati membayar luka-luka ku. Aku dan luka, membuncah jiwa perjaka. Aku terluka
karena dia si lelaki tua. Mulutnya komat-kamit mantra pembunuhan seolah akan
benar-benar terjadi malam ini.
Malam ini, suasana nyaris mistery
yang mendarah daging. Rumah yang terlihat megah milik tuan berkasta agung
seperti gardu listrik yang tersambar kilat dengan cepat. Suara yang terdengar
mengaum kepusan itu memecahkan sudut-sudut jendela. Yanunandana, dia membunuh
datuk kharil agung perdana. Kepiawaiannya untuk membunuh , lenyaplah seketika.
Suasana penuh denting air mata meskipun incident pembunuhan itu hanya
melibatkan satu orang anak manusia yang nyaris berhasil membunuh orang ternama
bersama putri semata wayangnya.
Dia berjalan menunduki pandangannya.
Mungkinkah membawa perasaan bersalah atas keegoannya atau sebatas mencari
simpaty mahluk_mahluk malam agar Tuhan melemparnya ke neraka. Bagaimanapun juga
manusia, dalam hatinya tertanam penyesalan yang amat dalam. Kecuali dia tetap
hidup dengan akar maksiat Tuhan tetap akan melemparnya kedalam neraka.
Yanunandana berdiam tak peduli begitu sampai di perasingannya, amak menyambut
heran penuh kegelisahan kedatangannya tanpa meninggalkan jejak debu berlalu lalang diatas
papande. Seperti debu jalanan yang beradu dengan asap yang menelan kendaraan
melaju cepat. Wanita tua itu merangkul
yanunandana yang nyawanya hampir ditelan malam. Hampir saja darahnya membuncah,
dia membisikan tangannya telah membunuh datuk kharil agung perdana. Amak shok,
tidak habis pikir dengan laki-laki asuhannya yang kerap disangka orang hina.
Dana? Seketika lututnya melempem seperti kerupuk yang tersiram ai panas. Tanpa
ada tamparan abadi di pipinya, cukup rahsia terbesar ia ungkapkna. Kau tahu
dana? Alasan kenapa para tamu undangan saat itu tidak menyetujui pernkahanmu?
Selain datuk kharil yang bersikeras tidak menyetujui hubunganmu, dia juga
memberi isyarat agar para tamu tidak meyetuji. Karena kahar laksmi adalah
saudara sedarah denganmu nak, dia adikmu namun ayahnya yang membawa menuju
akselerasi hidup yang nyata. Pelukan itu perlahan terlepas, kris di tangannya
mengunjam dengan lemah kea rah kakinya. Biarkan aku mati amak, biarkan aku mati .
tolong tancab kris ini amak, sebagai penawar penyesalanku,.
to be continue